Dak kawah Nyusah

Dak kawah nyusah”, sebuah kalimat yang akrab di telinga orang Bangka, bahkan sebagian orang mengatakan itu merupakan karakteristik orang Bangka. Selama ini istilah Dak Kawah Nyusah memiliki konotasi negatif, yakni menggambarkan sifat pemalas.
Tapi pernahkah kita melihat sikap “dak kawah nyusah” ini dari sudut pandang yang lain. Alih-alih menggambarkan sikap malas, Dak Kawah Nyusah menjadi refleksi dari sebuah kecerdasan peradaban, di mana masyrakatnya mampu lebih profesional, lebih sesuai dengan kata hati dan menjadi wujud dari sebuah kejujuran, keberanian dan ketegasan untuk mengatakan tidak.

Coba kita lihat apakah betul masyarakat Bangka itu malas. Penulis kira tidak. Justru sebaliknya, sebagai gambaran kita bisa melihat masyarakat petani (sekali lagi petani, bukan petani-petanian) di Bangka. Para petani itu sangat tekun menjalani tahap demi tahap proses penanaman hingga akhirnya memanen dan menjual lada hasil kebunnya, sejak membuka hutan, memancang patok, membuat lubang tanam, mencari junjung (tajar) untuk merambatkan pohon lada, dan memeliharanya hingga menghasilkan. Memelihara pohon lada layaknya memelihara seorang bayi yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, sedkit saja salah perlakuan pertumbuhannya akan terganggu dan hasilnya kurang optimal. Kerja keras dan ketekunan para petani lada Bangka menyebabkan daerah ini menjadi sangat terkenal dengan kualitas lada muntok white pepper-nya. Kita juga bisa memotret realita bahwa desa-desa/kampung-kampung yang ada di Bangka hanya ramai pada hari Jumat saja, di hari-hari lain masyarakat lebih suka menghabiskan waktu mereka di kebun dan hari libur mereka hanya pada hari Jumat itu saja. Nah, dengan realita yang ada ini masihkah kita mengatakan bahwa orang Bangka ”dak kawah nyusah” alias malas?
Sebenarnya, menurut penulis, istilah ”dak kawah nyusah” lebih tepat diartikan sebagai sikap yang mampu memilah mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak perlu, atau merupakan sebuah wujud penempatan diri pada posisi, keahliannya dan keinginannya.
Misal, saya hobi olahraga sepak bola, kemudin saya mengajak teman saya yang hobinya memancing untuk ikut main bola. Tatkala saya mengajak teman saya untuk bermain bola, karena ia tidak menyukai dan tidak merasa nyaman bermain bola, maka ia akan bilang ”dak kawah nyusah along ku mancing ade men asele ” yang artinya tidak mau, lebih baik saya pergi memancing ada hasilnya, begitu juga sebaliknya.
Daka kawah nyusah juga merupakan perwujudan dari sikap toleransi dan tidak ingin mencampuri urusan orang lain, menurut penulis inilah kata kunci mengapa beragam etnis, suku bangsa dan agama di Bangka mampu hidup rukun dan damai dalam keselarasan harmoni. Bahkan kerukunan hidup masyarakat Bangka ini sempat menjadi sorotan di tingkat nasional karena di daerah ini orang-orang pribumi dapat hidup rukun dengan non pribumi (etnis China). Karena sikap dak kawah nyusah inilah orang-orang Bangka enggan merespon segala bentuk pemikiran yang bersifat provokatif.
Sekali lagi penulis hanya mencoba mengajak pembaca untuk melihat kondisi ini dari sudut pandang lain yang tentunya lebih positif. Menurut riset, ketika kita berpikir positif maka seluruh atmosfir bumi akan merespon dengan aura dan energi yang positif pula. Jangan sampai konotasi negatif yang diidentikkan dengan istilah Dak kawah nyusah justru melemahkan eksistensi orang-orang Bangka itu sendiri. Semoga saja dengan konotasi positif yang dimunculkan dari istilah tersebut dapat membawa orang Bangka tampil dengan kepercayaan diri yang penuh yang sesuai dengan jati dirinya.
Sesuatu yang positip tentu akan selalu membawa kebanggaan. Dan kini sudah waktunya orang Bangka merasa bangga pada daerahnya sendiri, termasuk pada seluruh budaya yang tercakup di dalamnya.
Dan semoga kata-kata Dak kawah nyusah tidak menjadi jawaban atas ajakan-ajakan positip seperti misalnya yok kite bangun bangka. Jangan sampai hal seperti itu menjadi sebuah pembenaran atas konotasi negatif yang selama ini melakat pada istilah dak kawah nyusah.

Komentar

Hamba Allah mengatakan…
Sebagai masyarakat di pulau bangka ini, saya merasa lega membaca artikel ini, karena ada suatu ulasan menarik yang melihat budaya "dak kawa nyusah" ini dari sisi yang positive. karena biasanya budaya ini lebih kental dikenal orang bangka sebagai budaya yang negative, mencirikan orang yang malas dan sebagainya. semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi orang-orang bangka lainnya. amiieen

Wassalam
Hendra Leonar
Universitas Bangka Belitung

NB :
Tulisan ini kami masukkan ke dalam artikel Feature Universitas Bangka Belitung, silahkan cek di sini :

Klik Artikel bangka Belitung Budaya Dak Kawa Nyusah
fajar aswin mengatakan…
saya setuju sekali dengan pandangan anda, tapi disini saya melihat fokus anda pada orang "kampung" (hidup dari berkebun, dll.), realita yang saya hadapi diwilayah sungiliat yang notabene nya merasa "orang kota", sikap "dak kawah nyusah" itu sangat kental sekali, hal tersebut terlihat pada remaja2 yang sering nongkrong2 di simpang2, pasar2, pinggir jalan sambil bwa gitar, yang lebih buruk lagi ada btol minumaman keras. alsan yang sering terdengar adalah "apak kami agik pacak nyari' duit, tinggal minta selesai".
maaf jika saya salah dan berpikir negative, tapi itulah kenyataan yang saya hadapi sekarang, sebagai orang bangka (lhir dibangka, ibu bangka, ayah sunda, he3)saya merasa prihatin dengan keadaan sekitar saya.
sekali lagi saya mohon maaf klo ada salah kata, saya hanya ingin menyampaikan uneg2 saya dan saling berbagi informasi.
trims'